Bersediakah Engkau Menjadi Lautku?
Malam menjelang di tepian pinus - pinus menjulang.
Menelisik angin berhembus memandu jalang mata elang.
Kepakkan sayap menembus awan telanjang.
Berhenti aku menapakkan kaki.
Bukan karena lelah, bukan…hunny.
Bukan karena bosan, bukan…hunny.
Aku hanya ingin berhenti sejenak saja.
Diantara akar - akar pinus yang menyembul manja.
Dibawah daun - daun jarum yang menghadang sinar rembulan.
Mengambil nafas panjang dan menghembuskannya kembali.
Menyeka keringat yang tak sempat menetes.
Jalan didepan masih sangat panjang, Sayang, katamu.
Mari lanjutkan perjalanan kita, lihatlah puncak Merapi di depan kita, katamu lagi.
Kulangkahkan kakiku lagi, disampingmu.
3 jam terbius dalam bisu.
Hunny…bisakah berhenti lagi, sejenak saja.
Ijinkan sebentar kunikmati kumpulan eidelweiss dan sinar rembulan ini bersamamu.
Sebelum mereka dipetik orang-orang untuk dijual di sepanjang malioboro.
Aku hanya ingin memandang mereka saja diekosistemnya, di kaki merapi,
bukan di malioboro ataupun beringharjo.
Tersenyum engkau padaku.
Setengah jam, lebih dari cukup.
Kau gamit lenganku, lanjutkan langkah,
semakin menanjak dan kering, dingin menusuk tulang.
Pasir dan batu menyambut.
Puncak Garuda kutapaki bersamamu tatkala semburat kemerahan menyeringai di ufuk timur.
Kau genggam tanganku, dan kau bisikkan, “Hunny, bersediakah engkau menjadi lautku?”
“Yang kepadamulah aku pulang tanpa batasan jarak dan waktu, sampai akhir waktu…. .”
*twelve years ago*
Komentar
Posting Komentar