Surip


Matahari sudah mulai terpelintir ke barat, pertanda aku harus segera menunaikan tugas-tugas rumahku.  Bapak dan ibu membiasakan keempat putrinya bekerja sama dalam semua hal, termasuk urusan rumah.  Aku dan Sari bertugas menyapu seluruh kebun di belakang rumah yang lumayan luas bagi kami.  Ineng dan Iya yang masih kecil pun harus membantu dengan cara mereka sendiri.  Kalau aku dan Sari sudah memakai sapu lidi ukuran sebenarnya, Ineng dan Iya memakai sepotong kayu yang ujungnya diruncingkan, untuk mengambil dedaunan yang jatuh di tanah dengan cara menancapkan ujung kayu itu.
Kebun belakang rumah kami tak luas, hanya ada tiga batang pohon kelapa, satu pohon rambutan yang super tinggi, dua batang pohon mangga,empat batang pohon melinjo, banyak batang pohon pisang, satu batang pohon sukun dan banyak pohon murbei sebagai tanaman pagar.  Pohonnya sedikit, tapi daun-daun yang jatuh karena menua lumayan banyak.  Aku dan Sari hampir menyelesaikan tugas kami saat kulihat seorang anak laki-laki sebaya dengan sari lewat.  “Ceweeekkk”, sapanya sambil tersenyum atau lebih tepatnya meringis ke arah kami.  Aku dan Sari saling pandang.  “Siapa?” tanyaku.  “Entah, aku juga baru melihatnya kali ini,” jawab Sari.  Waktu terus berjalan.
Malam.  Pintu rumah Pakde No diketuk orang.  Aku mendengarnya karena rumah kami bersebelahan.  Pakde No itu kakak tertua Bapak.  Pakde No menjabat ketua RW di kampung kami.  Kampung yang benar-benar ndeso.  Sepi terasa kalau malam datang.  Aliran listrik belum menyambangi, hanya lampu teplok sebagai penerang.  TV pun masih membutuhkan aki sebagai sumber daya.  Kudengar pintu rumah Pakde No dibuka, sesaat kemudian terdengar beberapa orang bercakap-cakap.  Biarlah, aku tak tahu urusan orang lain, kulanjutkan belajarku.
“Ada anak baru, 2 orang, perempuan masuk kelas 6 dan adiknya laki-laki masuk kelas 4”, kata Tari, teman sekelasku saat aku meletakkan tas di bangku.  “Pindahan dari mana?”, tanyaku.  “Jakarta, bapaknya barusan di PHK dan sekarang pulang ke desa”, ujar Tari.  Kedua anak baru itu sungguh berbeda dengan kami.  Cara bicara mereka sungguh kota.  Cara bertingkahlakupun sungguh gaya.  Begitu sepenggal cerita yang sempat kudengar dari teman-teman.  Saat istirahat, kusempat melihat anak baru itu melintas di depanku sambil memonyongkan bibirnya yang memang monyong itu.  Aku mengernyitkan dahi.  Sepertinya anak yang kemarin lewat.  Muka yang itu lagi, sungguh menyebalkan.  Terlanjur sebel di pertemuan pertama.  Tak suka aku dengan gayanya yang sok kota, atau terlanjur terkontaminasi dengan cerita teman-temanku tadi.  Terlanjur sebel pokoknya.
Anak itu lagi….anak itu lagi, kulihat anak itu bersama seorang laki-laki agak tua dan seorang perempuan setengah baya sedang duduk bercakap-cakap di ruang tamu rumah Pakde No.  Rupanya keluarga yang baru pindah itu menyempatkan diri untuk bertamu, memperkenalkan diri mereka.  Anak laki-laki itu dipanggil Surip, kutahu saat Pakde No menyuruh Mas Rudi, anaknya, untuk mengajak anak laki-laki itu bermain bersama.  Kebetulan, kami sedang bermain bersama di halaman rumah Pakde No yang lumayan luas.  Pakde No, Bude Sri dan Bapakku merupakan saudara kandung.  Tak heran bila mereka membuat rumah di satu kompleks, di pekarangan peninggalan orang tua meereka.  Walhasil, kami, anak-anak mereka terbiasa bermain bersama, kebetulan usia kamipun tak terpaut jauh.  Sejak saat itu, bisa dipastikan, setiap siang sejak pulang sekolah sampai menjelang malam, Surip selalu ada di halaman rumah Pakde No, bermain bersama kami.
Surip…lebih banyak menyebalkannya daripada menyenangkan.  Anak itu lumayan lebih kotor dari kami.  Haha…. Kulitnya itu…kusam.  Rambutnya yang cepak lebih banyak waktu baunya ketimbang waktu wanginya.  Tapi anak itu terlalu percaya diri.  Percuma saja sepertinya aku cerewet padanya, mengatakan bahwa rambut baunya itu bisa membuat mati seluruh ikan yang tinggal di kali depan rumah.  Surip cuma tertawa, meringis sambil memonyongkan bibirnya yang memang monyong itu.  Terlanjur jorok tak bisa diubah, kata Sari padaku suatu waktu.
Tak ada hari tanpa kehadiran Surip.  Di sekolah, Surip biang ribut di kelasnya.  Jahilnya itu minta ampun.  Tak ada satupun teman sekelasnya yang selamat dari usaha kejahilannya.  Dari yang suka narik-narik rambut berkuncir, menepuk-nepuk penghapus papan tulis hingga seluruh ruang kelas penuh debu, memasukkan kerikil bahkan batu bata ke dalam tas temannya, ahh…memang keterlaluan usilnya dia.  Tapi meskipun begitu, Surip suka membantu teman-temannya tanpa perlu diminta.  Surip paling suka membatu menyiram tanaman di halaman sekolah.  Dia membawa dua ember air dikedua tangannya dan disiramkannya ke tanaman-tanaman itu.  Padahal air itu diambil dari kalen, saluran irigasi yang melintas di sebelah gedung sekolah.   Tentu saja, Pak Slamet, tukang kebun sekolah sangat senang. Merasa pekerjaannya menjadi lebih ringan dengan bantuan Surip.
Di rumahnya, Surip rajin membantu emaknya.  Sesegera mungkin dia selesaikan tugas-tugaas rumahnya, apapun yang diminta emaknya.  Setelah selesai, baru Surip berani pergi bermain, dan itupun selalu halaman rumah Pakde No yang menjadi tujuannya.  Dan selalu membuat keributan dengan membuat bunyi-bunyian.  Terkadang dia pukul-pukul kaleng bekas, terkadang kaleng yang diidi dengan kerikil dilempar-lemparkannya, dan kentongan pangkal pohon kelapa yang tergantung di pojok depan rumah Pakde No adalah sasaran terakhirnya.  So…dari kebiasannya itulah Surip mendapat julukan Surip kethip blang kothek’an dari Pakde No.  Artinya kira-kira Surip yang matanya ketap-ketip pembuat keributan.  Surip malah suka dengan nama kebesarannya itu, dan malah dijadikannya rujukan untuk melegalkan kebiasaannya memukul benda apapun asal menimbulkan bunyi.  Padahal, kalau ditanya cita-citanya ingin jadi pilot. Nggak nyambung.
Beberapa hari Surip tak masuk sekolah.  Tak juga terlihat di area permainan kami.  Berhari-hari kami tak mendengar keributan yang biasa ditimbulkannya.  Ada terselip kerinduan diantara aku dan teman-teman sepermainan.  Hingga Mas Rudi bilang kalau Surip sedang dirawat di rumah sakit di kota karena sakit demam berdarah.  Kami tak mungkin pergi kesana menjenguknya.  Orang-orang tua kami yang pergi menjenguknya.  Sudah terlanjur parah, begitu berita yang kudengar.
Sore itu, kulihat banyak orang berkumpul di depan rumah Pakde No.  Mereka serius membicarakan sesuatu.  Sesuatu yang teramat penting sepertinya.  Beberapa saat kemudian mereka bubar.  Pakde No memanggil kami, anak-anak yang bermain di depan rumahnya.  “Innalillahi wa innaillaihi roji’un, Surip telah dipanggil Allah SWT”, kata Pakde No.  “Maksudnya bagaimana, Pakde?”, kata Sari.  “Surip meninggal, baru saja, sekarang kalian pulang dulu, mandi dan nanti bersama-sama ke rumah Surip”, kata Pakde No.  Kami terdiam, terasa tetes air mata mengalir di pipi.  Selamat jalan Surip, kami mendoakanmu.  Semoga Allah SWT menempatkanmu di surganya yang indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IIDN Jogja, Belajar Bersama Tingkatkan Kualitas Diri

Eksotisnya Kebun Buah Mangunan

Tanah, daur biogeokimia dan fotosintesis